Untaian kalimat demi kalimat seorang psikolog terkenal dilayar kaca dalam tayangan sebuah televisi swasta, tentang betapa tidak enaknya menjalani hari-hari tanpa kemauan sendiri, kurasakan benar kini. Berpikir untuk menjalani suatu profesi yang sama sekali bukan merupakan cita-cita adalah baying-bayang mengerikan yang tak berkesudahan. Contoh konkretnya adalah aku, seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sejak awal tidak memiliki keinginan untuk menjadi dokter sama sekali.
“Ke kampus, Hen?”
“Males!”
Bowo segera berlalu mendengar jawaban singkatku. Anak-anak sekos kebanyakan sudah tahu perihal keterpaksaanku mengikuti ambisi Bapak. Bapakku yang cita-citanya menjadi dokter kandas karena berbagai faktor, menggantungkan harapan itu dipundak anaknya. Sehingga aku pun diberinya nama Mahendra Avicena. Namun sejak kecil, aku lebih mengidolakan Habibie daripada Ibnu Sina atau Avicena. Lebih suka ikutan utak-atik mesin dibengkel belakang rumah milik tetangga, daripada membaca literatur kesehatan atau mendengarkan Bapak bercerta tentang kegunaan masing—masing obat yang ada dalam kotak PPPK dirumah. Meski begitu, Bapakku tetap bersikukuh dengan keinginannya. Salah satu anaknya harus jadi dokter. Dan aku, yang menurut pertimbangan para dewan guru dan kacamata para keluarga paling pantas mendapat estafet ambisi itu, mau tak mau harus menuruti. Saat lulus SMU, aku masih terlalu ketakutan untuk bias membayangkan hidup mandiri tanpa biaya subsidi dari Bapak. Satu ancaman Bapak kalau aku membangkang. Karena memang tidak ada pilihan lain, maka pilihan satu dan dua dalam UMPTN kuisi kedokteran umum semua. Aku lolos pada pilihan pertama, disebuah PTN ternama dikota
Hari-hari menjemukan dalam masa perkuliahan kulewati. Walau tanpa niat, IPK-ku tidak terlalu buruk karena aku memang tidak bodoh. Semua mengalir seperti air seakan tanpa rintangan. Memang bukan kemampuan otak yang menjadi persoalanku.
“Pasti nerusin co ass, Hen?”
Aku mengedikkan bahu.
“Aku pasti tidak. IPK-ku pas-pasan, rugi kalau dipaksain. Kukira melihatku diwisuda dan gelar S.Ked tercantum dibelakang namaku sudah cukup menyenangkan dua bonyok-ku dirumah”
“kamu yakin?”
“Yakin nggak yakin. Soalnya aku udah capek, Hen. Saatnya aku harus memilih jalan yang kuingini dan siap menerima segala resikonya.”
Memilih jalan sendiri? Menerima segala resikonya? Perkataan Bambang, mantan jurnalis kampus yang sejak kecil bercita-cita jadiwartawan, mengusikku. Nasibnya hampir sama denganku kesasar di kedokteran atas paksaan ortu. Sudah kuatkah aku menerima segala resiko pembangkanganku? Kalau Bambang barangkali lebih enak. Dia sudah punya penghasilan dari profesinya menjadi wartawawn free lance disebuah
“Melamun terus,Hen.”
“Bingung, Wo.”
Bowo, tetangga sebelah kamarku, masuk membawa radio kasetnya ke kamarku yang bak kapal pecah. “Ngadat lagi. Benerin, ya!”
“Jangan lupa ongkos lelahnya!”
“beres,”Bowo mengacungkan jempol kanannya, “Gimana skripsimu? Hampir kelar?”tanyanya kemudian.
Aku hanya menggeleng. “Males,” jenis jawaban yang paling suka kulontarkan dan paling dibenci Bowo.
“Calon dokter kok,males,” ledeknya.
“Bingung aku,Wo. Kalau kupikir-pikir,sepanjang kuliah selama ini aku sudah buang energi, ngabisin banyak waktu,pikiran,dsb,dll. Sayang kalau nggak diterusin. Tapi, aku nggak punya mood untuk itu. Aku nggak ada motivasi.”
“maumu?”
“Kadang-kadang aku masih menyimpan harapan untuk jadi seperti Habibie.”
“Kayak nyanyian Joshua aja,” komentarnya enteng.
“Aku serius, Wqo” kupegang pergelangan tangan kanannya, “jangan meledekku.”
“Realistis, Hen. Kamu mau ngapain selain nerusin kuliah? Kamu punya alternatif lain seandainya kamu menolak nerusin ke program profesi?”
Uaah…calon guru bahasa itu membuatku kesal.”justru akumengajak kamu bicara itu untuk nyari alternatif. Dasar guru nggak peka!”
“Mungkin…mulai sekarang kamu bias merintis kerja dibengkel. Atau, nyoba jadi tukang parkir?”
“Tukang parkir?apa hubungannya?” kupotong perkataannya. Rasa kesal mulai membuncah didadaku.
“Maksudku…tukang parkir pesawat terbang.
Refleks aku melotot kearahnya. “Wo,aku serius!” kutekan kata-kataku.
“Aku malah aquarius,” sahutnya santai seraya berlalu dari kamarku.
Hiih! Aku makin jengkel. Kutendang pintu kamarku sekeras-kerasnya.
“Dooo, baru segitu saja marah. Sorry, kalau gitu. Aku buru-buru mau kuliah soalnya. Nanti malam atau besok kita lanjutin ngobrolnya.”
Kemarahanku agak surut. Anak Semarang yang merangkap kuliahj dikomunikasi itu memang paling bias mengendalikan diriku. Kabarnya anak itu aktifis mushala fakultasnya. Tapi dia sama sekali tidak sok ekslusif, juga tidak terlalu hobi khotbah kayak Arifin teman seangkatanku. Bowo bahkan doyan ngocol dan sesekali menemaniku nonton konser musik keras-musik orang gila, menurut versi Arifin. Itulah mengapa aku yang dahulu shalat
Hari berganti hari, kebingunganku belum jua sirna. Ketidakjelasan apa yang akan kukerjakan pasca menyelesaikan skripsi, membuatku kehilangan gairah hidup. Seperti juga saat ini, saaat aku bergelut dengan kabel-kabel, membantu salah seorang kenalanku yang membuka jasa reparasi barang elektronik. Menyaksikan belitan kabel dan aneka komponennya, sering pikirankumelntur kemana-mana. Tentang indahnya bergumul setiap waktu dengan mesin, mengutak-atik berbagai komponen listrik, nahkan sampai kecerita khayalan spiderman. Fantasiku sering membayangkan betapa enaknya si Peter Parker yang melakukan percobaan dengan uranium. Lantas tiba-tiba ada serangga nyelonong masuk kekotak eksperimennya, lalu serangga itu teradiasi, menggigit lengannya…dan tanpa proses yang rumit Peter jadi punya kekuatan ajaib, jadi manusia laba-laba alias Spiderman. Memang pikiran-pikiran yang gila, jauh panggang dari api dengan realitas yang kini kujalani.
“Hen, ada telegram dari
Buru-buru kurobek sampulnya. Isinya sangat singkat. Ibu menyuruhku pulang.
“Suruh pulang ya, Hen?
Aku hanya menggerakan sedikit bibirku sebagai isyarat.
“Suruh kawin?”
“Suruh kawin gundulmu!”
bowo terkekeh.
Bapak dan ibuku baru pulang dari tanah suci. Keluarga besar akan berkumpul. Aku diharapkan bias pulang pas hari ‘H’. acara tasyakuran.
Ibu menyambut kedatanganku dengan linangan air mata. Aku ikut terharu, tapi tentu saja tidak turut meneteskan air mata.
“Disana Ibu selalu mendoakan agar kamu berhasil jadi dokter yang baik. Di Raudhoh, didekat makam Ibrahim, juga saat wukuf di Arafah. Ibu selalu mengingatmu Hen,” mata Ibu berkaca-kacalagi. Barangkali Ibu teringat pengaduan-pengaduanku akan ketersiksaan batin yang kualami selama masa belajar.
Jujur, ada sesuatau yang menyentak dasar jiwaku mendengar perkataan Inu. Ternyata, Ibu pun sangat menginginkan aku menjadi dokter. Satu hal yang tidak kupahami sebelum ini. Uuh…rasanya kepalaku serasa dibelah tujuh,yang masing-masing bagian ditarik kearah yang berlainan.
Pulang dari
“Wo, ehm…,mungkin tidak sih, sebenarnya orang segede aku berpindah cita-cita?”
“Maksudmu?”Bowo mengibaskan sarungnya lantas menaruhnya disandaran kursi. Kami baru saja berjamaah shalat zuhur.
“kalau anak kecil
“Sekarang kamu udah nggak kepengin jadi Habibie,begitu?”sambil nyengir, Bowo mencoba menebak.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Malah kualihkan ke pertanyaan lain. “Bisa nggak sih, kita laksanakan cita-cita orang lain, tapi kita tetap enjoy menjalanibnnya?”
Bowo tertawa kecil lantas menghempaskan punggungnya ke pinggir ranjang. “Siapa yang membuatmu berubah pikiran?”
“Ibu. Aku tidak sanggup membuatnya kecewa, Wo.”
“Ya, sudah, kalau gitu kamu cepat beresi tugas akhirmu. Trus, ngelanjutin ke profesi. Habis itu jadi dokter yang professional. Gampang
“Tapi aku bingung…”
“Bingung gimana?Otak kamu tokcer. Kamu mampu mewujudkan impian bapak ibumu. Apalagi?” Bowo memandangku seperti menghipnotis.
“Kamu udah tahu kalau aku selama ini tidak ada motivasi untuk itu.”
“Kamu tahu Hen, Taufik Ismail yang penyair itu dokter hewan. Juga aktor Fadli yang dokter gigi, tapi entah sempat praktik atau tidak…”
“Tahu. Apa maksudmu?”
“Yah, agar kamu membuka mata bahwa tidak Cuma kamu yang menghadapi masalah seperti ini. Saranku, kau tetap konsentrasi nyelesein skripsi sembari mencoba merintis jalan kearah yang kamu ingini.”
“Hal itulah yang membuatku bingung. Rasanya banyak cabang yang terhampar didepan mataku. Aku belum tahu mulai dari amna.” Kuhela napas panjang seraya melonjorkan kedua kakiku.
“Bamyaklah muhasabah. Kamu kenal ungkapan, barang siapa mengenal diri maka diamengenal Tuhannya,
Aku mengangguk-angguk. Bowo melanjurkan ucapannya, “Tapi kalau kamu ingin melatih ikhlasnya hati dalam mewujudkan cita-cita ortumu, bisa juga.”
“Bisa?”aku menautkan keua alisku. Bila ada cermin didepanku, pasti kulihat bertumpuk kerutan muncul dikeningku.
“Tidak ada yang mustahil diduniaku ini. Karena Allah adalah Zat Yang Mahakuasa membolak-balik hati, perasaan, keinginan, dan motivasi seseorang.”
Byur! Seakan kepalaku disiram air dingindisiang panas terik mendengar kata-kata bijak Bowo. Seingatku, belum pernah aku betah dicertamahi oranng tanpa merasa bosan, seperti sekarang ini.
“
“Contoh apa yang kau maksud?”
“Orang yang sukses lantaran mengikuti ambisi orang tua, bukan hasratnya sendiri.”
“Banyak. Contoh gampang adalah Mas Irvan, kakak sulungku yang sering kemari itu. Dia dullunya ingin jadi arsitek, tapi Abah malh cenderung mengirimkan dia kepesantren selepas SMU. Karena hati Mas Irvan ikhlas, sekarang dia sudah memiliki puluhan santri, disamping sering diundang mengisi ceramah dimana-mana.”
“Kamu sendiri?”
“Kalau aku dari kecil sudah berjiwa renegade. Bangga berani berkata tidak dan membangkang orang tua. Termasuk kuliah dikomunikasi ini, nyaris tanpa restu.”
“Sekarang?” Sungguh tak kusangka, Bowo yang terlihat alim pun pernah menjadi seorang pemberontak dimasa lalunya.
“Alhamdulillah segalanya beres, Hen. Setelah kenal Islam aku baru sadar bahwa berbeda dengan orang tua bukanlah dosa, namun ada rambu akhlak yang tidak boleh diterjang untuk mengatasinya.”
Aku terdiam cukup lama, merenungkan banyak hal. Pertama, aku tentu harus lebih dekat kepada Allah agar diberi jalan yang terbaik. Kedua, inilah yang harus segera kuputuskan. Berbagao slide peristiwa bermunculan dan batok kepalaku.
“Jadi dokter adalah dambaan bapakmu sedari dulu. Karena 3 orang pamanmu meninggal dunia sewaktu kecil akibat terserang wabah menular, yang tak terobati karena ketiadaan biaya.”
“Saatnya aku harus memilih jalan yang kuyakini dan siap menanggung segala resikonya,”perkataan tegas Bambang, calon jurnalis.
“Ditanah suci Ibu senantiasa mendoakan agar kamu segera nlulus dan bias secepatnya memberikan pertolongan pada orang-orang yang miskin.
Kupikir, semua pilihan yang ada baik meski bukan berarti tanpa resiko. Memang, hidup adalah menentukan pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi. Kesanggupan kita terhadap konsekuensi itulah yang seharusnya menjaid pertimbangan tatkala hendak menjatuhkan pilihan.
“Khoirukum anfa’uhum linnas. Manusia terbaik adalah manusia yang paling banyak memberikan manfaat untuk sesamanya.” (nez)
Diambil dari kumpulan cerpen karya Jazimah Al-Muhyi, ketika duka tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar