Ya Allah..liriklah aku, sedikit saja!
Gelak tawa dan canda menghiasi seluruh sudut ruangan, sapaan disana- sini, obrolan yang tak kunjung habis, terdengar luapan emosi melepas rasa rindu setelah lama tidak bertemu. Begitulah suasana reuni SMU, disalah satu ruang sebuah hotel berbintang, pertemuan yang dinanti-nanti setelah hampir tiga tahun meninggalkan bangku sekolah berseragam putih abu-abu itu.
Piuh, sendiri aku disini, yang lain sibuk mengobrol dengan teman masing-masing, malas aku bergabung dengan mereka. Uh,mana sih teman-teman aku itu, nggak mungkin mereka nggak datang, apa iya mereka nggak kangen sama aku. Bosan mulai melanda, kuhempaskan diriku disebuah sofa disalah satu sudut ruangan yang sepi, kenangan masa lalu mulai muncul dalam ingatanku.
*****
Aku, Diko, Melda, Riska, dan Iqbal, teman se-geng di SMU, sahabat-sahabatku, yang selalu kompak, dengan motto kami, susah senang ditanggung bersama. Hm…konyol memang, tapi mempunyai kesan mendalam dihatiku. Bolos, nyontek, jalan-jalan, sampai dugem kita selalu sama-sama, kecuali pacaran, itu sih nggak mau barengan, basi! Kehidupanku berubah dengan mereka, hidupku menjadi penuh makna, gaya hidupku berubah, gaya berpakaian, rambut, make-up, tindik, sampai belajar merokok…
“Fa, lo mau nyoba ngerokok nggak? Enak lo Fa, bisa ngilangin stress.” Riska menawari rokok saat dirumahnya.
“Hah, mmm…nggak ah Ris, gue kan nggak ngerokok.” jawabku ragu.
“Payah lo Fa, masa nyoba aja nggak mau, kenapa?takut?!” ucap Riska sambil menatapku dengan tatapan mengejek.
“Tau lo Fa, nggak bisa ngerokok? Sini gue ajarin, masa kita ngerokok lo nggak, nggak kompak lo!” Melda ikut mengomporiku sambil menghisap rokoknya.
“Hm…gimana ya,…ya udah deh, tapi ajarin gue ya, gue nggak bisa ngerokok nih, tapi sebatang aja ya, gue kan belum biasa.” Jawabku setelah menimbang-nimbang daripada dibilang nggak kompak, lebih baik aku mengikuti kemauan mereka. Aku mulai mengambil sebatang rokok…
*****
Begitulah awal ku mulai merokok, yang sekarang sudah menjadi kebiasaan. Diko dan Iqbal jelas aja ngerokok, cowok sih, biasa, bahkan terkadang setahuku mereka juga pakai kok, pernah sih aku pengen nyoba, mau tahu gimana sih rasanya makai? Tapi mereka nggak mau ngasih, mereka bilang nanti aku ketagihan, sebel! Tapi aku nurut aja, mereka kan lebih tahu. Tindik juga jadi ciri gayaku, ditelinga sih udah biasa, deretan anting sudah menghiasi kedua telingaku, dihidung?biasa, bibir sampai pusar sudah pernah kucoba, sekarang tinggal empat tindikan ditelinga kanan dan kiriku saja yang tersisa.
Keluargaku tak ada yang peduli dengan segala perubahanku, mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan diriku, bahkan sampai aku kuliah di Yogya pun mereka biasa saja. Hanya materi yang dapat mereka berikan, tapi itu tidak cukup! Aku tidak butuh uang, aku butuh kasih sayang!perhatian! dan itu kudapatkan dari teman-temanku, sahabat-sahabatku! Mereka yang selalu ada disaat aku sedih, tertekan, mereka menghiburku, memberikan semangat, dorongan, dengan mereka, aku dapat kembali tersenyum.
Ah, sedih mengingatnya, kenangan yang selalu terpatri dalam ingatanku, cerita indahnya persahabatan. Kini sejak aku diterima di PTN di Yogya, aku tak tahu bagaimana kabar mereka, semua sulit untuk dihubungi. Yang kutahu Melda diterima di PTN di Depok, yang lain, aku tak tahu.
“Assalamua’laikum, Sifa ya?” sapaan seseorang membuyarkan lamunanku, seorang gadis berjilbab lebar, dengan baju muslim yang terlihat longgar. Siapa sih? Kuperhatikan raut wajahnya dengan seksama, oh…
“Melda?! Benar Melda kan? Ucapku sedikit keras, gadis itu mangangguk pelan sambil tersenyum. “Ya ampun, lo berubah banget gue sampai nggak ngenalin, hei sejak kapan kamu berjilbab?” pertanyaan yang membuatku makin bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang Melda, yang dulunya…ah kutepiskan rasa itu, bagaimanapun Melda temanku, aku tidak boleh berprasangka buruk.
“Alhamdulillah Fa, sejak aku kuliah, aku mulai berubah, untungnya kearah yang lebih baik. Gimana kabarmu, baik-baik aja kan?” katanya sambil tersenyum.
“Kok bisa Mel?” tanyaku mengacuhkan pertanyaannya, entah terlihat bodoh atau tidak, aku tak peduli, aku masih terkejut oleh penampilan Melda, bagaimana bisa…..
“Ya bisa Fa, Allah telah memberikan hidayahnya padaku, Alhamdulillah. Dikampus aku berkenalan dengan mbak-mbak yang membimbingku Fa, lepas dari gaya hidup dan kebiasaan-kebiasaan burukku dulu.”ucapnya.
“Ya, kebiasaan, kehidupan buruk, tapi penuh makna bukan? Persahabatan!” kataku tajam.
“Nggak Fa, persahabatan yang baik tidak membawa kita kepada kemungkaran, persahabatan yang indah membuat kita menjadi manusia yang lebih baik, tidak seperti persahabatan kita dulu…” ucapnya pelan.
“Maksudmu?! Persahabatan kita nggak ada artinya?!” kupandang dia dengan tatapan tajam, ternyata…
“Bukan begitu Fa, kamu jangan marah dulu, persahabatan kita memiliki banyak hikmah Fa, kebersamaan kita, sungguh indah, aku nggak akan lupa, tapi kelakuanku yang sungguh hina saat itu sudah kukubur rapat-rapat, masa lalu yang menyedihkan…”Melda memandangku penuh arti, ia kembali bicara “Kini dengan harapan, aku ingin merubahnya Fa, menebus dosa-dosaku saat itu, sungguh malu aku mengingatnya. Malu begitu banyak dosa yang kuperbuat, padahal Allah memberikan banyak nikmat kepadaku.” Jelasnya.
“Lo benar-benar berubah Mel, tapi gue terima perubahan lo, setiap orang pasti berubah kan? Dan elo tetap sahabat gue.” kataku pada akhirnya.
Melda tersenyum gembira, raut wajahnya kelihatan berseri, terlihat tulus.
“Assalamua’laikum. Sifa kan?” sapaan seseorang membuat obrolanku dengan Melda terhenti. Siapa orang ini, cowok berbaju koko, rapi. Rapi untuk penampilan seorang cowok.
“Ehm, Sifa kan?” tanyanya lagi.
“ Eh, iya, siapa ya, sorry gue lupa?” jawabku.
“ Wah, masa lupa, aku Iqbal nih”jawabnya.
“Iqbal?! Ya ampun Bal, apa kabar?” ucapku sambil terkejut melihat penampilan Iqbal, sungguh berbeda.
“Hai Bal, masih ingat sama aku nggak nih?” Tanya Melda.
Iqbal terlihat bingung melihat gadis berjilbab yang bersamaku, tapi dia tersenyum “ Melda kan, wah sudah berjilbab ya, Alhmadulillah.” Katanya.
“Eh Bal, sejak kapan berjenggot, kata lo jenggot tuh nggak keren sama sekali.” Tanyaku setelah memperhatikan jenggot yang tumbuh didagunya.
“ Yah, itu kan dulu, sebelum aku tahu kalau memelihara jenggot termasuk sunah Rosulullah, Fa.” Jawabnya sambil mengelus-elus jenggotnya.
“Oh, gitu ya, lo berdua emang berubah ya” kataku yang bingung dengan penampilan keduanya.
“Eh Bal, tahu nggak kabar Riska sama Diko? Aku udah coba telepon mereka, tapi kok nggak ada yang ngangkat ya?” Tanya Melda, yang seakan mewakili pertanyaanku juga.
“Ehm…kalau Riska, yang aku tahu dia ngelanjutin sekolah diluar negeri, kalau Diko…hm…dia masuk rehab, dia kecanduan narkoba.” Ucapan yang menjawab perasaan kangenku.
“Astagfirullah, sejak kapan Bal?” Melda tidak bisa menutupi rasa kagetnya.
“Enam bulan lalu, waktu itu dia sakaw, terus dibawa ke rumah sakit, keluarganya jadi tahu kalau dia makai, setelah keluar dari rumah sakit, dia dimasukkan ke panti rehab” jelasnya.
“Bukannya lo juga makai Bal?” tanyaku penasaran.
“Wah aku dah lama berhenti, sejak masuk kuliah, ngeri aku melihat banyak temanku yang sakaw, aku nggak mau kayak gitu, kayaknya menyiksa banget.”katanya.
“Yah, untung deh, kamu udah berhenti. Eh, kita ke panti rehab yuk, jenguk Diko” ajak Melda
“Yuk, yuk, aku setuju, tapi minggu depan ya?” kataku meminta persetujuan.
“Oke, jadi ya, minggu depan” Iqbal menyetujui.
*****
Kuhempaskan tubuhku ke ranjang, lelahnya hari ini, kepejamkan mataku…ah, begitu banyak yang terjadi hari ini…”Ya Allah”, jarang sekali aku menyebut nama itu, apa yang telah kau berikan kepada kedua temanku, hingga mereka bisa berubah seperti itu, keajaibankah? Kududuk didepan cermin, melihat wajahku sendiri, wajah yang menyedihkan. Umurku yang sudah berkepala dua ini tak membuatku bersikap sesuai umurku, apa yang kulakukan selama ini? Tertidurkah? Bermimpikah?...air mata mengalir membasahi pipiku, Ya Allah, kenapa baru sekarang ku tersadar, bahwa diriku begitu jauh dari-Mu, kemana saja Engkau ya Allah, tak sudikah kau menghampiriku? Kau menghampiri Melda dan Iqbal, tak inginkah Kau menghampiriku, melirikku sedikit saja! Ya Allah, begitu banyak dosa yang telah kuperbuat, maukah Kau memaafkanku? Pasti! Kuyakin Engkau memaafkanku, tapi pantaskah?! Kuhapus air mata dari wajahku, kulihat wajahku dicermin, kuyakin Allah pasti mau memaafkanku, kini tinggal merubah diriku sendiri, menjadi manusia yang baru dan diridhoi oleh-Mu. Ya Allah terimalah taubatku. Bismillahirahmanirrahim……….[nez]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar